Tuesday, September 29, 2009

green purple eyes

This time, my eotd contains green and purple colors. The pink-to-violet eye shadow applied on the middle upper lid. Shimmer light green e/s applied on the inner corner. Blend, blend, blend. At the outer corner, dark purple matte applied. Blend blend blend.

At the lower lash line, draw the thin line with bold green e/s, blend with shimmer light green at the inner corner.

Don't forget to use mascara and eyeliner. I used black liner.





Friday, September 11, 2009

Kompak Dengan Pengasuh


Me and Awan featured on Mother & Baby Indonesia on September issue. Well, I actually wrote an article for them.


Below, uncut version ;)

Pengasuh Pilihan

Buat seorang ibu bekerja kantoran seperti saya, kehadiran pengasuh (baca:baby sitter) sepertinya sudah ‘kudu’ hukumnya. Karenanya, 2 bulan sebelum cuti melahirkan saya selesai, saya sudah sibuk tanya sana sini yayasan mana yang direkomendasi. Baik dari tetangga, saudara, bahkan teman senasib. Ini bukanlah sebuah tindakan buru-buru. Buat saya ini waktu yang tepat karena saya perlu lebih mengenal si pengasuh luar dalam sebelum ia saya serahkan tanggung jawab sepenuhnya. Lagi pula, sedikit saja terlambat mencari, saya sudah dipastikan berada di urutan paling buncit pada daftar tunggu yayasan-yayasan yang direkomendasi. Syukur saya tidak terlalu lama melakukan perburuan. Sebulan sebelum cuti berakhir saya sudah mendapatkan seorang pengasuh.

Ketat Namun Tak Mengikat

Saya bukan orang yang terlalu rewel dan cerewet dalam hal aturan. Namun bagaimana pun aturan tetap harus ada. Misalnya, saat ia baru saja membeli handphone. Euphoria ngobrol dengan pulsa murah pun melanda. Kemana ia pergi, telepon selular setia menemani. Sampai-sampai, sedang menggendong Awan pun handphone nempel di kuping. Aturan pun berlaku. Mulai pukul 5 pagi sampai 7 malam, tidak menerima telepon sama sekali kecuali super maha penting. Setelah tugas selesai, boleh terima telepon sesukanya, dengan catatan, berakhir di pukul 9 malam agar tidak mengantuk keesokan harinya. Saya pun memperbolehkannya berkunjung ke rumah teman atau sekedar jalan-jalan ke mall di luar jatah cutinya. Asal ya itu tadi, sudah selesai bertugas dan pulang sesuai jam malam. Saya pikir, dia butuh refreshing juga. Jangan sampai kejadian pengasuh membawa anak asuhannya jalan-jalan ke mall di siang hari saat Ibu tidak di rumah. Hal yang terjadi pada tetangga saya. Tak hanya itu, sang pengasuh juga tak ketinggalan mengajak serta pacarnya. Ya ampun!

Toleransi Masa Cuti

Dari awal memang sudah ada aturan bahwa si pengasuh punya hak cuti 2 hari dalam sebulan. Tapi kalau ternyata situasi mengharuskan ia cuti di luar jatahnya, saya usahakan untuk selalu mengijinkan. Walau saya harus pusing tujuh keliling saat ia mendadak minta cuti di tengah bulan. Hari kerja lagi. Walau pun Mama tinggal bersama saya, rasanya tak mungkin diserahkan sepenuhnya penanganan Awan yang mulai hobi memanjat teralis dan ngemil batere. Mau tak mau, saya pun terpaksa ambil cuti juga dengan diiringi tatapan memelas partner di kantor. Bila sudah urusan keluarga atau anak (pengasuh anak saya sudah menikah dan memiliki putra), saya merasa mesti memberikan toleransi yang relatif masuk akal, karena bila keadaan dibalik, saya juga pasti menuntut hal yang sama dari tempat saya bekerja.

Partner Dalam Mendidik Anak

Pekerjaan saya yang begitu menyita waktu otomatis menjadikan kegiatan sehari-hari Awan lebih banyak didampingi oleh pengasuh. Oleh karenanya, saya memutuskan untuk menjadikan ia partner saya dalam mendidik Awan. Sejauh ini, saya bersyukur pada Tuhan diberikan pengasuh yang sayang pada anak saya dan cepat belajar segala sesuatu yang saya ajarkan. Terutama bahasa Inggris. Dengan cepat ia mampu melafalkan lirik lagu-lagu sederhana seperti Twinkle Twinkle Little Star, Old Mc Donald, bahkan beberapa soundtrack dari Sound of Music. Hal ini tentu membuat saya senang dan mempermudah saya mengajarkan lagu-lagu pada si kecil, bila tidak di rumah. Apa pun yang saya larang mau pun ijinkan untuk anak saya, menurut laporan pandangan mata Mama, ia lakukan dengan baik. Misalnya, saat makan, wajib hukumnya duduk di kursi. Ia pun menaati aturan tersebut tanpa sekali pun lengah dan seenaknya membawa Awan jalan-jalan sambil disuapi. Kalau tetangga saya bisa ganti baby sitter sampai 5 kali dalam setahun, saya tidak sekali pun. Padahal mereka datang dari yayasan yang sama. Saya anggap ini bisa jadi karena saya anggap ia sebagai partner. Sebisa mungkin saya kritik ia tanpa omelan bila ada kekurangan saat ia melakukan tugasnya. Hasilnya ia pun lebih terbuka pada saya dan tak kesal saat dikritik. Mudah-mudahan bila saya punya anak kedua, saya terus diberikan kemudahan saat berurusan dengan pengasuh.

BOX:Tips Wawancara Dengan Pengasuh dari Yayasan

Terus terang karakter seseorang sulit ditebak saat pertemuan pertama. Tapi ada cara jitu yang paling tidak bisa menggambarkan bahwa orang ini memiliki nilai positif atau tidak. Perhatikan matanya saat wawancara. Bila matanya balik menatap ketika menjawab, namun dengan tatapan hormat ia patut diperhitungkan. Bila ia memandang ke arah lain atau menatap dengan tatapan kurang ajar, coret segera dari daftar, sebelum mendapat kesulitan saat memintanya melakukan tugas.


Friday, September 4, 2009

Pinjem Dong

Kalo cuma minjem baju, sepatu, tas, pasti gue kasih. Kalo pun sampai barang favorit ada yang rusak, minimal gue menghela napas. Kalo hanya pinjem duit barang seperak dua perak pasti gue transfer. Kalo pun sampe nggak balik, minimal gue ikhlasin.


Tapi kalo minjemnya sampe harus bikin gue ngutang lagi, duh, ntar dulu deh. Masalahnya kalo sampe nggak balik, walaupun diikhlasin, bakal ngerusak cash flow kan?


Emang masalah pinjam meminjam duit ini, udahlah sensitif, bikin miskin juga. Apalagi kalau sahabat, atau bahkan saudara yang mau minjem. Janjinya mau dibalikin bulan depan, atau dicicil tiap bulan. Bila tempo pembayaran tiba, uang yang dinanti tak kunjung kembali. Mau nagih nggak enak. Masalahnya ya si sensitif itu tadi. Kita mungkin akan dianggap nggak peka, wong lagi nggak punya duit malah ngejar-ngejar kayak debt collector. Tapi kalo nggak ditagih-tagih, butuh juga lah. Mesti nabung kan buat biaya pendidikan anak, belum beli pampersnya yang kian lama kian bertambah sizenya dan artinya kian mahal pula harganya, belum biaya bulanan listrik, telepon, air. Semuanya kan nggak dibayar pakai uang yang tumbuh di belakang rumah.


Balik soal minjem tadi. Tahu sih, yang namanya orang minjem itu nggak punya duit. Jangan-jangan malah saking ngga punya duitnya, nggak tahu kalo 2ribuan sekarang ada lembaran baru (nggaknyambung). Tapi buat yang hidup juga Alhamdulillah pas-pasan, meminjamkan dalam jumlah besar, walau pun punya, mikirnya mesti 1000 kali, pake semedi 2X24 jam pula. Bukannya nggak mau minjemin. Gue yakin pasti mau. Masalahnya takut nggak baliknya itu lho.


Ada saran dari ahli nih. Jika meminjamkan uang, terlebih kepada saudara, mesti siap mental nggak bakal balik. Makanya, pinjamkanlah dana lebih yang tidak masuk ke biaya wajib cash flow kita.Kalau nggak punya dana lebih, Tuhan nggak marah kok, kalau kita nggak minjemin. Daripada putus tali persaudaraan cuma karena uang. Masalah ‘yang dianggap’ sepele tapi menjadi hal fundamental dalam menjalankan hidup.